Penolakan masyarakat selalu menjadi halangan terberat dalam membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di negara manapun, seberapa pun besarnya PLTN dibutuhkan.
Rencana Indonesia membangun PLTN pada 2010, dengan dasar UU No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), hingga sekarang juga terus tersendat.
Padahal RPJM menargetkan PLTN sudah dapat beroperasi pada 2016, sementara pembangunan konstruksi PLTN membutuhkan waktu minimal lima tahun, belum termasuk persiapan lainnya.
Pada awal 2010 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya mengeluarkan Inpres No 1 Tahun 2010 yang menugaskan Kementerian Riset dan Teknologi serta Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) melakukan sosialisasi tentang PLTN kepada masyarakat.
Sementara peraturan lainnya yang diperlukan serta keputusan nasional untuk "Go Nuclear" tetap tidak kunjung jelas hingga menjelang penutupan tahun 2010.
Penolakan masyarakat di era demokrasi ini tampaknya memang menjadi hal yang sangat senstif dan dikhawatirkan bisa merusak citra politik pemerintah.
60 Persen
Seberapa besarkah penolakan masyarakat terhadap PLTN? Pada 2010 sejumlah pakar dari jurusan Komunikasi FISIP Universitas Indonesia dipimpin Prof Dr Ibnu Hamad telah melakukan dua kali jajak pendapat tentang PLTN yakni pada Juni dan November.
Survei kedua yang dilakukan di 22 kota se-Jawa dan Bali tentang penerimaan masyarakat terhadap PLTN itu menunjukkan bahwa 59,7 persen masyarakat menerima keberadaan PLTN, meningkat dua persen dibanding survei sebelumnya di mana 57,6 persen yang menerima PLTN.
Dari 3.000 responden yang diwawancarai ini, sebanyak 25,5 persen masyarakat yang menolak dan 14,8 persen yang menjawab tidak tahu. Angka ini tidak jauh berbeda dengan survei pertama, dimana 24,6 persen menolak dan sisanya 17,8 persen menjawab tidak tahu.
Di setiap provinsi yang disurvei semuanya menunjukkan penerimaan lebih banyak daripada yang menolak, termasuk di Kabupaten Jepara yang direncanakan akan menjadi tapak PLTN, mereka 55,3 persen menerima.
Dua persen kenaikan angka dukungan dalam waktu beberapa bulan, ujar Ibnu Hamad, kemungkinan disebabkan semakin bertambahnya pengetahuan masyarakat karena sosialisasi yang mulai digencarkan.
Anggota Komisi VII DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, angka nyaris 60 persen penerimaan terhadap PLTN ini sebenarnya sudah menjadi petunjuk bagi pemerintah bahwa rencana pembangunan PLTN didukung oleh mayoritas masyarakat.
DPR pun, lanjut dia, sangat mendukung pembangunan PLTN dan mengingatkan semua pihak bahwa energi nuklir merupakan opsi yang tetap harus dipilih di samping energi alternatif lainnya.
"Energi alternatif lain seperti surya, angin dan lainnya hanya mampu menyediakan listrik di skala rumah tangga. Tapi untuk dunia industri dibutuhkan listrik berkapasitas besar seperti yang ditawarkan PLTN, minimal 600 MW," katanya.
Sebelumnya, Pendiri Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan (MPEL) Sutaryo Supadi menegaskan angka 59,7 persen sebenarnya sudah cukup besar untuk menguatkan Kepala Negara untuk mengambil keputusan mengenai perlunya membangun PLTN.
"Perancis yang 80 persen listriknya dibangkitkan dari PLTN dulu itu juga didukung 60 persen masyarakatnya," ujar Sutaryo.
Disebutkan, saat ini jaringan listrik terpasang di seluruh Indonesia hanya mencapai 40 ribu MW dan baru bisa melistriki tak sampai 70 persen rakyat, sementara 10 tahun ke depan jumlah penduduk Indonesia terus meroket dan kebutuhan akan listrik juga bakal berlipat ganda.
Siapapun seharusnya tak lagi mengandalkan energi fosil, ujarnya, karena cadangan dunia untuk gas saat ini hanya tersisa 1,4 persen, minyak bumi 0,5 persen dan batubara 3,1 persen.
Saat ini, sebanyak 438 PLTN di 30 negara mampu memenuhi 16 persen kebutuhan listrik dunia. Ke-30 negara tersebut yakni Amerika Serikat yang memiliki 103 PLTN, 59 di Perancis, 55 di Jepang, 31 di Rusia, 20 unit di Korsel, 19 di Inggris, 18 di Kanada, 17 di Jerman, 17 di India, 15 di Ukraina, 11 di China dan seterusnya.
Bahkan China yang sudah memiliki 11 PLTN sedang membangun lima PLTN baru, sedangkan India yang sudah memiliki 17 PLTN sedang membangun enam PLTN tambahan. Terhitung saat ini sekitar 60 negara berkembang di dunia sudah berencana membangun PLTN.
Alasan Kecelakaan
Sementara itu, menanggapi kebanyakan alasan masyarakat menolak PLTN karena khawatir terjadi kecelakaan reaktor nuklir seperti disebut dalam survei, Kepala Batan Dr Hudi Hastowo menegaskan, bahwa teknologi PLTN saat ini sudah jauh berbeda dari teknologi PLTN di masa kecelakaan Chernobyl pada 1986.
Kemungkinan kebocoran reaktor untuk reaktor PLTN generasi pertama kurang dari satu per 10.000 sedangkan kemungkinan bocor reaktor PLTN generasi keempat bahkan sudah kurang dari satu per sejuta reaktor dalam setahun.
Kecelakaan Chernobyl, ujarnya, dipicu banyak pelanggaran dari mulai pelanggaran prosedur kerja, pelanggaran dalam sistem keselamatan dan kekurangan dalam desain reaktor.
Namun, ia menegaskan, tragedi Chernobyl tidak akan terjadi lagi karena desain reaktor sejenis itu pasti tidak akan mendapat izin dunia untuk dibangun.
"Persyaratan teknis dan administratif untuk melakukan kegiatan operasi sekarang ini jauh lebih ketat, juga sistem infrastruktur nasional maupun internasional untuk mencegah kejadian serupa. Termasuk masalah limbah," kata Hudi.
Jika opsi Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah sulit direalisasikan, pihaknya kini telah mempersiapkan tapak lainnya yang juga memenuhi syarat sebagai tapak PLTN, yakni di Bangka Barat dan Bangka Selatan yang di masa depan bisa dihubungkan dalam transmisi Sumatera-Jawa-Bali.
Keselamatan nuklir Indonesia, baik dari faktor manajemen keselamatan maupun budaya keselamatan di ketiga reaktor riset nuklirnya di Serpong, Bandung dan Yogyakarta, juga dinilai oleh negara-negara tetangga di Asia dan Australia sangat baik.
"Indonesia sangat baik dalam keselamatan nuklir. Tidak pernah terjadi kecelakaan serius di sini," kata Penasihat Senior bidang Keselamatan Organisasi Teknologi dan Sains Australia (ANSTO) Basil Ellis menambahkan.
Laporan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dalam "Integrated Nuclear Infrastructure Review 2009" juga sudah menegaskan bahwa Indonesia, bersama Jordania dan Vietnam, adalah negara yang paling siap mengembangkan energi nuklir.
(D009/Z002/A038)
Sumber : http://www.antaranews.com/berita/1293377766/menanti-ketegasan-politik-realisasikan-pltn
Minggu, 26 Desember 2010
Friday, 31 December 2010
Thursday, 30 December 2010
Bangka Belitung Bangun PLTN

"Dua PLTN yang akan dibangun dalam upaya memenuhi kebutuhan energi listrik terutama di Babel," ujar Gubernur Babel, Eko Maulana Ali, Rabu, setibanya di Bandara Depati Amir Pangkalpinang dari kunjungannya ke Slovenia dan Slovakia untuk studi banding masalah PLTN.
Ia menjelaskan, dari dua PLTN yang akan dibangun tersebut satu unit PLTN berlokasi di Muntok, Kabupaten Bangka Barat berkekuatan 10.000 MW dan di Desa Permis, Kabupaten Bangka Selatan, berkekuatan 600 MW.
Ia menjelaskan, dipilihnya kedua kabupaten tersebut berdasarkan hasil studi Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), yang sudah melakukan studi kelayakan di Babel sejak 2009.
"Kedua daerah itu memiliki kondisi tanah yang sangat baik sekali untuk pembangunan PLTN dan dekat dengan pantai, sehingga biaya transmisi lebih murah," ujarnya.
Ia mengatakan, pasokan listrik sebesar itu tidak hanya dijual di Babel saja, tapi akan dijual mulai dari Bali hingga Sumatera.
"Pembangunan PLTN ini tidak hanya mengakomodir kebutuhan listrik di Babel saja, tapi juga mengakomodir kebutuhan listrik mulai dari Bali hingga Sumatera," tuturnya.
Menurut dia, pembangunan PLTN di Babel, karena daerah ini merupakan wilayah yang paling cocok untuk pembangunan PLTN dan sudah memenuhi 17 persyaratan yang ditetapkan hasil penelitian dari BATAN.
"Pembangunan PLTN ini merupakan suatu upaya dari pemerintah tapi belum final, masih tergantung dari pemerintah pusat," katanya.
Eko menambahkan, pemerintah pusat tidak bisa melakukan apa pun, jika pemerintah daerah tidak bergerak untuk terus mensosialisasikan pembangunan PLTN ini kepada masyarakat.
"Pembangunan PLTN ini sangat sensitif, karena masih banyak masyarakat yang belum memahami nuklir. Masyarakat hanya mengetahui bahayanya saja, tapi tidak mengetahui manfaat dari nuklir itu sendiri," katanya.
Ia mengatakan, sudah banyak PLTN yang dibangun di Jepang, Korea, Rusia, Slovenia, Slovakia serta beberapa negara maju di Eropa.
"PLTN di Jepang dibangun di tengah-tengah kota, walaupun masyarakatnya sudah mengalami trauma yang besar pada saat Kota Hiroshima dibom oleh sekutu. Namun saat ini negara tersebut sudah sangat maju," ujarnya.
Kamis, 23 Desember 2010
Sumber : http://www.antaranews.com/berita/1293080878/bangka-belitung-bangun-pltn
Wednesday, 29 December 2010
PLN Siap Bangun Pembangkit Nuklir

Direktur Utama PLN Dahlan Iskan mengatakan pihaknya tidak akan membangun proyek PLTN jika belum ada perintah dari pemerintah. Pasalnya, dia menyebutkan kalau pengembangan pembangkit bertenaga nuklir sepenuhnya menjadi policy pemerintah. Pengembangannya pun tidak tergantung dari jaminan, melainkan lebih kepada keputusan pemerintah.
�Tidak bisa PLN punya inisiatif membangun nuklir itu tidak bisa. Harus pemerintah dulu memutuskan. kalau PLN diperintah kapan saja siap. Tahun depan pun siap,� ujar Dahlan kepada Bisnis, belum lama ini.
Dahlan menyebutkan secara komersial di Tanah Air pembangkit nuklir memerlukan biaya yang mahal. Karena di Indonesia punya sumber energi lain yang bisa dimanfaatkan dengan biaya yang lebih murah seperti air dan batu bara. Dia pun sempat membandingkannya dengan Jepang, dimana pemanfaatan nuklir di negeri tersebut lebih murah karena kondisi ketersediaan energinya yang berbeda.
�Tapi biarpun secara komersial sudah murah, kami akan tetap menunggu perintah. Karena nuklir itu policy pemerintah,� katanya.
Dahlan mengakui kalau selama ini memang sempat ada beberapa pembicaraan terkait pengembangan energi nuklir di Indonesia, misalnya saja di Lemhannas (Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia) dan Kementerian Negara Riset dan Teknologi. �Menurut monitoring saya perkembangannya semakin mengarah. Tapi waktu kapan pelaksanaannya nanti saya tidak tahu.�
Secara terpisah, anggota Komisi VII DPR Ismayatun mengatakan seharusnya pemerintah sesegera mungkin menjadikan nuklir sebagai sumber energi apalagi sekarang sudah ada Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan.
"Kami di DPR selalu mendorong pengembangan nuklir dimulai dari sosialisasi supaya masyarakat sadar segi positifnya terutama dengan kemajuan teknologi sehingga ketakutan akan peristiwa Chernobyl atau Gopal tidak ada," ujar Ismayatun hari ini
Anggota komite Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim melihat dari sudut ilmiah saat ini penggunaan teknologi nuklir tidak lagi memiliki keraguan. Dia tak menampik dari sisi faktor risiko nuklir memang memiliki risiko yang besar, akan tetapi faktor itu sudah bisa dikendalikan lewat kemajuan perkembangan teknologi.
Herman menyebut dua alasan pentingnya pemanfaatan nuklir yakni untuk security penyediaan energi dan pengendalian emisi karena kelebihan nuklir adalah tidak adanya pembakaran sehingga tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca.
Terkait keamanan ketersediaan energi dimasa depan, dia menyebutkan kalau idealnya Indonesia tidak menggantungkan pada satu pasokan energi yang terlalu besar misalnya batu bara. Herman memprediksi jika Indonesia tidak memiliki nuklir, maka kebutuhan batu bara sebagai sumber energi di Indonesia pada masa mendatang bisa mencapai diatas 40%-50%. Angka itu cukup besar mengingat dengan 50% di 2050 diprediksikan konsumsi batu bara bisa mencapai sekitar 1 miliar ton. Padahal produksi batu bara saat ini hanya sekitar 250 juta ton.
Alhasil, hal itu tentu bisa menimbulkan banyak masalah. �Karena itu, posisi nuklir adalah untuk membalance batu bara dan posisi batu bara adalah membuat harga murah,� katanya.
Guna menjalankan pengembangan nuklir di Indonesia, kata dia, pemerintah perlu membentuk organisasi atau badan khusus yang akan melakukan implementasi program nuklir tersebut. Dan selama badan atau organisasi tersebut belum terbentuk maka pengembangan proyek nuklir di Indonesia masih belum jelas.
Dia pun menyarankan tiga alternatif badan yang dimaksud yakni badan khusus yang dibentuk pemerintah, PLN, dan pihak swasta. Dari ketiga pilihan tersebut, swasta dianggapnya sebagai pilihan terakhir karena bisa mendapat tentangan dari public kalau ada sentimen masyarakat antinuklir.
�Jadi alangkah lebih bagus pemerintah apakah itu PLN ataukah badan baru yang akan menjalankannya. Dan tentu itu masih memerlukan pertimbangan yang lebih luas,� tutupnya.
Oleh Yuda Prihantoro | 29 December 2010
Sumber : http://www.bisnis.com/index.php/infrastruktur/energi/4085-pln-siap-bangun-pembangkit-nuklir
Sunday, 26 December 2010
Desa yang Bersahabat dengan PLTN

Rumah bangsawan berusia lebih dari dua abad itu biasa digunakan warga desa sebagai gedung pertemuan, peringatan, pesta pernikahan, hingga menjamu tamu.
Dengan keramahannya, Kepala Desa Jaslovske Bohunice, Peter Riska, menjamu para tamun dari Indonesia di kastil mungil tersebut dengan pakaian resminya.
Di sekitar kastil yang menjadi kebanggaan sekitar 2.000 warga desa di desa termakmur di Slovakia ini terbentang lahan pertanian dan rumah-rumah warga serta sejumlah pusat kegiatan lainnya seperti gereja dan stadion olahraga.
Tidak jauh dari tempat tersebut (sekitar 2 kilometer), berdiri tujuh menara pendingin raksasa (cooling tower) ratusan meter tingginya. Di antaranya mengeluarkan uap air tebal membumbung di angkasa.
Tungku-tungku raksasa ini merupakan pemandangan khas kawasan Bohunice yang menjadi tempat beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Bohunice V1 dan V2.
Kepala Desa Peter Riska mengatakan, warganya sudah 50-an tahun bersahabat dan merasa nyaman dengan reaktor nuklir serta tidak pernah mempermasalahkannya.
Warga desanya, ujar Riska, justru merasa bahagia karena PLTN mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan warga.
"Kami juga telah memahami kebutuhan negara kami atas energi, jadi kami tak pernah protes, apalagi 60 persen konsumsi energi negara kami berasal dari PLTN," katanya.
Sementara itu, Peter Liska, Direktur Divisi Keselamatan Nuklir Vuje, suatu perusahaan instalasi energi Slovakia, yang mengantar rombongan ke Desa Jaslovske, mengatakan, lebih dari 60 persen rakyat Slovakia menerima PLTN.
Media massa Slovakia sendiri, menurut dia, juga tidak tertarik meributkannya, karena PLTN merupakan hal yang biasa di Slovakia.
Hanya partai hijau yang tidak punya kedudukan di parlemen dan LSM internasional yang selalu berteriak menolak PLTN, tambah pejabat Kementerian Luar Negeri Slovakia untuk Indonesia, Vladimir Pristas..
Demikian pula negara tetangga Austria yang meskipun menolak PLTN, namun tetap mengimpor energi dari "grid connected" Eropa termasuk pasokan dari PLTN Slovakia.
Hambatan mengembangkan energi nuklir, juga datang ketika Slovakia menjadi bagian Uni Eropa pada 2004, dimana negara ini diwajibkan melakukan "shutdown" (mengakhiri operasi) terhadap PLTN-nya reaktor V1 di Jaslovske.
"Yakni unit 1 di-shutdown pada 2006 dan unit 2 pada 2008, karena dianggap masih menggunakan teknologi kuno dari Rusia," katanya.
"Shutdown" ini menambah daftar PLTN yang juga telah diputuskan untuk dimatikan yakni reaktor A1 di Bohunice yang sejak 1995 sudah disetujui untuk dilakukan "decommissioning".
Kini di Bohunice masih beroperasi dua unit PLTN V2, demikian pula dua unit PLTN pertama dan kedua di Mochovce, dekat Levice di Slovakia Barat.
"Slovakia juga sedang membangun PLTN baru di Mochovce, yakni unit ketiga dan keempat yang akan mulai beroperasi pada tahun depan atau paling tidak 2011-2012," kata Liska.
Operator PLTN, lanjut dia, tentu saja harus membuat warga desa nyaman ketika membangun PLTN yang baru ini, seperti juga yang dilakukan terhadap warga desa Bohunice.
Saling menguntungkan
Menurut Peter Riska, kepala desa Jaslovske itu, sejak 1990, Slovakia bukan lagi negara komunis yang diktator, sehingga negara tak bisa lagi memaksakan kehendak jika masyarakat menolak.
"Apalagi setelah 2004, ketika dilakukan privatisasi atas PLTN, maka hubungan antara warga desa dengan operator PLTN adalah hubungan bisnis yang saling menguntungkan," katanya.
Operator PLTN, ujar mantan anggota parlemen Slovakia itu, harus memberikan santunan untuk masyarakat setempat berupa pajak bumi dan bangunan dan pajak atas peralatan nuklir yang ada di desa.
"Sebanyak 2,3 juta Euro per tahun diberikan operator PLTN sebagai pendapatan asli desa-desa di radius 21 km dari reaktor," katanya tersenyum mengenang perjuangannya mendapatkan hak-hak bagi desa-desa di Bohunice.
Masyarakat mendapat santunan berdasarkan luas tanah per meter persegi, ditambah lagi adanya sumbangan bagi pendidikan, pengembangan olahraga dan budaya desa setempat, juga infrastruktur, gedung, listrik, serta air bersih.
"Ini semua membuat warga kami merasa nyaman meski ada PLTN," katanya sambil merasa bangga dengan kemakmuran desanya.
Dewanti Lestari
Sumber : http://www.antaranews.com/berita/1292931364/desa-yang-bersahabat-dengan-pltn
Wednesday, 22 December 2010
RI Belum Bangun PLTN Hingga 2019

"Dalam RUPTL ini belum terdapat program pengembangan tenaga nuklir. Hal ini terjadi karena dalam proses optimisasi pemilihan kandidat pembangkit, ternyata pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) tidak dapat bersaing dengan jenis pembangkit lainnya, seperti PLTU batubara kelas 1.000 MW supercritical," ujar RUPTL 2010-2019 yang diperoleh detikFinance, Senin (12/7/2010).
Menurut data tersebut, kesulitan terbesar dalam perencanaan PLTN adalah tidak jelasnya biaya kapital dan biaya O&M yang terkait dengan spent fuel disposal, dan biaya decommisioning.
Untuk biaya kapital misalnya, sebuah studi bersama antara PLN dan sebuah perusahaan listrik dari luar negeri mengindikasikan biaya pembangunan PLTN sebesar US$1.700/kW (EPC saja) atau US$2.300/kW (setelah memperhitungkan biaya bunga pinjaman selama konstruksi).
"Angka tersebut kini dipandang terlalu rendah, karena menurut laporan mutakhir (tahun 2009), biaya pembangunan PLTN pada beberapa negara telah mencapai US$ 3.500 hingga US$ 5.500 /kW," demikian isi RUPTL tersebut.
Selain itu harga uranium dunia juga terus naik sejalan dengan kebangkitan program tenaga nuklir pada banyak negara di dunia. Harga uranium yang pada tahun 2006 adalah sekitar US$ 30/lb, saat ini telah mencapai US$ 130/lb.
Kenaikan harga uranium ini sebetulnya tidak banyak mempengaruhi keekonomian PLTN mengingat beroperasinya PLTN hanya memerlukan uranium dalam jumlah sedikit, namun tetap saja kenaikan harga uranium dunia ini perlu terus dipantau.
Namun demikian dengan semakin mahalnya harga BBM yang juga diikuti oleh kenaikan harga energi primer lainnya seperti batubara dan gas alam, telah membuat PLTN menjadi salah satu opsi sumber energi yang sangat menarik untuk ikut memenuhi kebutuhan listrik Indonesia apabila biaya EPC, biaya pengelolaan spent fuel dan biaya decomisioning telah menjadi semakin jelas.
Tapi perlu disadari bahwa pengambilan keputusan untuk membangun PLTN tidak semata-mata didasarkan pada pertimbangan keekonomian dan keenergian, namun juga pertimbangan lain seperti aspek politik, keselamatan, sosial, budaya dan lingkungan.
"Dengan adanya berbagai aspek yang multidimensional tersebut, program pembangunan PLTN hanya dapat diputuskan oleh Pemerintah," jelas data itu.
Sumber : http://www.detikfinance.com/
Senin, 12/07/2010
Indonesia Baru Memiliki PLTN 2018-2020

"Sudah pasti mundur, dan tidak mungkin pada tahun 2016," kata Kepala BATAN Hudi Hastowo pada diskusi tentang "Mengenang 24 Tahun Kecelakaan Chernobyl" di Jakarta, Jumat.
Ia mengingatkan masyarakat bahwa kebutuhan energi listrik pada masa depan akan sangat tinggi. Karena itu, PLTN harus menjadi salah satu bagian dari rencana pengembangan energi nasional agar kebutuhan tersebut bisa mencukupi.
"Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir ini tidak menegasikan energi alternatif lainnya karena PLTN hanya melengkapi saja agar tetap bisa cukup. Semua energi juga masuk dalam rencana pengembangan, baik panas bumi, air, angin, surya, maupun biomassa," katanya.
Potensi panas bumi Indonesia sebesar 28 gigawatt (GW), menurut dia, belum mencukupi. Demikian pula tenaga air yang semakin terbatas, tenaga angin yang kecepatannya tidak memenuhi syarat, tenaga surya yang pengadaan sel suryanya sangat mahal, dan energi alternatif lainnya.
Ia juga menegaskan bahwa teknologi PLTN saat ini sudah jauh lebih maju dibanding dengan teknologi masa lalu. Apalagi sangat menekankan keselamatan dengan hadirnya konsep PLTN generasi IV yang aman, ekonomis, dan limbahnya minimal.
Selain itu, sejak kejadian Chernobyl telah lahir berbagai konvensi yang secara administratif lebih meningkatkan keselamatan nuklir, misalnya Nuclear Safety Convention yang tidak memungkinkan suatu negara menyembunyikan informasi terkait keselamatan PLTN.
Juga lahir Konvensi Early Warning Notification on Nuclear Accident yang mengikat negara anggota untuk melaporkan sesegera mungkin suatu kecelakaan pada fasilitas nuklirnya sehingga negara lain bisa segera meresponnya.
Konvensi tentang Third Party Liability juga disepakati untuk memberi jaminan pihak ketiga yang dirugikan akibat tindakan suatu fasilitas nuklir, ujarnya.
"Indonesia sudah meratifikasi semua konvensi internasional yang dibutuhkan sebelum masuk ke era PLTN," katanya.
Sumber : http://www.tempointeraktif.com/
Minggu, 02 Mei 2010
Monday, 20 December 2010
Prospek Pembangunan PLTN Di Indonesia Saat Ini

Pemanfaatan energi nuklir dapat meniminimalkan ketergantungan dari energi fosil Ujar Menteri Negara Riset dan Teknologi, Suharna Surapranata di dalam sambutan pembukaan seminar. Selain itu Suharna Surapranata mengatakan dengan pemanfaatan energi nuklir dapat mengurangi potensi problem dari pemanasan global yang sedang menjadi perhatian dunia.
Energi nuklir saat ini pemanfaatannya sudah banyak dimanfaatkan ke bidang-bidang yang diperlukan oleh masyarakat, seperti halnya bidang kedokteran, pangan, hewan juga sebagai pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Khusus pada PLTN saat ini berbagai negara telah banyak negara menggunakannya, sesuai World Nuclear Association per 1 Februari 2010 jumlah PLTN didunia mencapai 463 unit yang beroperasi dan 53 unit tahap pembangunan serta 142 unit tahap perencanaan.
Dikawasan Asia, disamping Jepang dan Korea Selatan pertumbuhan PLTN di China cukup signifikan yaitu pembanguan 20 unit dari rencana 37 unit. Selain negara tersebut dikawasan Asia Tenggara seperti Filipina, Thailand dan Vietnam juga sudah mengusulkan ke Badan Tenaga Nuklir Dunia (IAEA) untuk dapat dibantu dalam pembangunan PLTN.
Sedangkan kawasan kawasan Timur Tengah, sebagai kawasan negara sumber penghasil minyak saat ini kecenderungan untuk memanfaatkan PLTN sebagai opsi Pemasok Tenaga listriknya. Seperti Uni Arab Emirat langsung merencanakan pembangunan PLTN 4 unit dari sepuluh yang diusulkan. Sedangkan di eropa khususnya negara Prancis, seluruh kebutuhan listrik negaranya di suplai dari PLTN.
Besarnya minat negara-negara untuk mengembangkan PLTN kita ketahui adalah didasari atas keunggulan dari : Relatif bersih dari polusi rumah kaca sebagai penyebab Golbal Warming; Nuklir sebagai energi cukup besar; persediaan bahan baku relatif cukuo dan stabil; teknologinya semakin teruji dan handal dan terakhir harga jual listrik murah.
Dari kelebihan-kelebihan tersebut memang ada kekurangannya yang perlu diantisipasi dari PLTN. Kekurangan tersebut diantaranya adalah resiko dari PLTN cukup tinggi dari faktor keamanan dan keselamatan apabila terjadi sesuatu dimana resiko radiasi yang dapt mengakibatkan kematian. Perlu diketahui bahwa teknologi bak dua mata pisau, dimana dengan pemanfatan yang betul akan mendapatkan keuntungan sedangkan salah dalam pemanfaatan akan berakibat fatal. Semua ini diperlukan pengkajian dan penerapan yang betul-betul dibutuhkan tingkat kemampuan dan pertimbangan yang sangat tinggi agar resiko akibat yang tidak menguntungkan dapat dikurangi.
Oleh karena itu sebelum melangkah mengambil keputusan dalam pemanfaatan PLTN, perlu dilakukan pemilihan teknologi yang betul-betul maju, pemahaman dan peningkatkan kemampuan SDM yang handal agar dalam pelaksanaan dan pengoperasian PLTN tidak terjadi kesalahan yang fatal. Untuk dapat tercapainya maka pada Kamis tanggal 18 Maret 2010 diadakan seminar dengan tema �Prospect of Nuclear Electrict Power In Indonesia di Ruang Komisi I BPPT lantai 3 Jakarta.
Penyelenggaraan Seminar ini merupakan kerjasama Pemerintah Jepang (JAIF-JICC) dengan RISTEK, BATAN, BAPPETEN, METI dan ESDM. Tujuan dari diselenggarakan seminar ini untuk menggali pengalaman Jepang didalam pengelolaan dari pemanfaatan Teknologi Nuklir untuk pembangkit Tenaga Listrik. Suharna Surapranata mengatakan dengan diselenggaranya seminar ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah dan pelajaran dari pengalaman negara Jepang untuk Indonesia didalam rencana pembangunan PLTN diwilayah Indonesia kedepan.
Menurut Chif Scretary of Senior Network, Atonomic Energy Society of Japan , Akira kaneuji bahwa Jepang didalam pemanfaatan nuklir berpengalaman sejak 50 tahun sebelumnya. Saat ini Jepang sudah mempunyai 57 unit PLTN tersebar di seluruh wilayah negara. Teknologi Nuklir di Jepang selalu diperbaharui dan ditingkatkan didalam sistem keamanan dan keselamatannya. Sehingga kekhawatiran akan akibat yang fatal dapat dikurangi menjadikan masyarakat dapat menerima.
Sedangkan pengalaman di Indonesiapun sudah berpangalaman sejak tahun 1975, dimana Indonesia sudah memiliki reaktor Nuklir di tiga kota Serpong Tanggerang, Jogja dan Bandung. Sampai saat ini ketiga rektor masih berjalan dengan baik dan masih dimanfaatkan untuk penelitian. Disini menunjukan kemampuan dari SDM anak bangsa tidak perlu diperdebatkan dalam penguasaan teknologi Nuklir. Reaktor penelitian ini dimanfaatkan radioisotopnya untuk penelitian, tidak memanfaatkan pemanasannya sebagai sumber panas untuk memanaskan Air agar uapnya dapat menggerakan turbin listrik.
Pada prinsipnya PLTN dan PLTU mempunyai kesamaan sistem kerja. Satu-satunya yang membedakan adalah sumber panas yang dipakai. Untuk PLTU sumber Panas berasal dari Batu Bara dimana batubara dibakar guna merubah fluida kerja (air) menjadi uap lalu dialirkan untuk memutar turbin, sedangkan PLTN panas yang diperoleh adalah hasil reaksi pembelahan inti atom (fisi) didalam selongsong yang kedap udara dan air dengan suhu tinggi sama halnya untuk merubah air menjadi uap.
Saat ini perkembangan terakhir dari rencana pembangunan PLTN Indonesia tetap berjalan sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang enery Mix . Dimana menurut Kepala BATAN Hudi Hastowo bahwa sudah sampai pada tahap persiapan pembangunan. Pembangunan PLTN melalui tiga tahap evaluasi. diantaranya evaluasi Pengusulan rencana pembangunan sesuai program nasional, Persiapan dari pembangunan dan kebijakan-kebijakan yang mendukung; Pembangunan dan operasi.
Pada Acara seminar tersebut dihadirkan narasumber Dr. Hudi hastowo dengan topik bahasan �NPP Infrastructure Development�; �Regulation Development� oleh Dr. As. Natio lasman; �Experience of Japan for Nuclear Energy Development in Indonesia� oleh Koyama Masaomi (METI); �nuclear Safety Technology accomplished and Realities of Chernobyl Accident � oleh ISHIKAWA Michio (JANTI); �Japanese Seismic Safety Technology proved in Nilgata Earthquake � oleh KONNNO Takaaki (JANTI).
Selanjutnya Topik bahsan �most Advanced Light water Reactor with highest safety, good economiy and easy maintenance� oleh Kaneuji Akira (AESJ) dan � Nuclear Market and seccure Fuel Supply of nuclear fuel� oleh Mori kazuo (NFI). Hadir pada acara para undangan dari komunitas dan masyarakat pemerhati energi. (humasristek/WB)
Sumber : http://www.ristek.go.id/?module=News%20News&id=5554
Sunday, 19 December 2010
Belum ada izin apapun terkait nuklir Muria

"Belum ada permohonan izin apapun yang diajukan kepada kami terkait rencana pembangunan PLTN Muria," kata Kepala Bapeten As Natio Lasman di sela Seminar Keselamatan Nuklir Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir untuk Menjamin Keselamatan Pekerja, Masyarakat dan Lingkungan di Jakarta, Rabu (5/8).
Namun demikian, lanjut dia, rencana pembangunan PLTN yang berdasarkan Perpres Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, masih tetap berlanjut dan belum ada pembatalan.
Ia menegaskan, pembangunan PLTN di Indonesia bukan dilakukan oleh Bapeten ataupun Batan (Badan Tenaga Nuklir Nasional), tetapi oleh BUMN, swasta atau koperasi, jadi tergantung dari kemampuan investasi mereka.
Menurut dia, jika Indonesia ragu-ragu dalam pembangunan PLTN maka Indonesia akan semakin tertinggal dari negara lain.
"Di AS sudah ada 104 PLTN dan masih terus melanjutkan dengan membangun 12 unit baru, terkait komitmen mereka pada 2040 tidak akan menggunakan lagi energi fosil," katanya.
Demikian pula China yang dalam 4-5 tahun lagi akan memiliki 25 PLTN yang dibangun secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan listrik di negaranya yang terus meningkat seiring perkembangan industri, hal yang juga terjadi di India.
Sedangkan Jepang yang merupakan kawasan gempa, 34 persen listriknya dipasok PLTN. Jepang yang memiliki 55 PLTN masih terus menambahnya dengan membangun tujuh unit lagi.
Bahkan sebanyak 78 persen kebutuhan listrik Perancis dipenuhi dengan tenaga nuklir. Perancis bahkan mensuplai listrik juga ke negara lain.
Sedangkan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam yang pada 2020 direncanakan sudah memiliki PLTN operasional.
PLTN memenuhi 16 persen kebutuhan listrik dunia (438 unit) di lebih dari 30 negara.
Menurut As Natio, dibandingkan dengan rencana PLTU batubara 10 ribu MW, PLTN jauh lebih bersih karena tidak menyumbang emisi karbon ke udara.
"PLTN juga lebih stabil yang sekali dinyalakan maka akan menyuplai listrik secara stabil untuk seterusnya hingga masa yang ditentukan. Ini berbeda dengan PLTU batubara yang masih tergantung pada pengiriman batubara. Listrik bisa mati berhari-hari jika gelombang laut sedang tinggi dan stok batubara terlambat dipenuhi," katanya.
Sumber : http://www.primaironline.com/berita/ekonomi/belum-ada-izin-apapun-terkait-nuklir-muria/print#
Tim Persiapan PLTN Butuh Payung Hukum

Agustiawan menjelaskan dalam pembahasan rapat kerja Dewan Energi Nasional (DEN) dengan Komisi VII DPR pertengahan April lalu, salah satu butir kesimpulannya adalah meminta pemerintah agar segera membentuk Timnas untuk mempersiapkan pembangunan PLTN yang sudah direncanakan. Untuk pembentukan tim yang akan terdiri dari lintas departemen itu, dibutuhkan payung hukum setingkat peraturan presiden.
"Kalau kita serius ingin membangun PLTN, sebagai langkah awal mesti dikeluarkan perpres pembentukan tim tersebut dan itu sudah menjadi hasil kesimpulan raker antara DEN dan Komisi VII DPR Aprillalu," katanya kemarin. Timnas tersebut memiliki kewenangan dalam membuat keputusan-keputusan penting terkait proyek PLTN, sesuai dengan kompetensi instansi terkait.
Seperti penetapan lokasi, kegiatan survei, penetapan tapak, pembuatan perencanaan, lelang, dan penetapan operator PLTN. Dia memberi contoh Bapeten (Badan Pengawas Tenaga Nuklir) sebagai lembaga yang tepat untuk menetapkan persyaratan spesifikasi teknologi yang harus digunakan pada PLTN yang akan dibangun.
"Misalnya karena dari aspek keamanan kurang baik apabila kita menggunakan teknologi generasi pertama, mungkin Bapeten bisa mensyaratkan agar PLTN menggunakan teknologi generasi kedua, atau ketiga." Terkait dengan adanya penolakan PLTN, Herman mengatakan PLTN merupakan pembangkit yang secara teknis dan ekonomis paling memungkinkan untuk mengejar kebutuhan listrik nasional yang meroket tajam dalam jangka waktu singkat.
"Untuk membangun PLTN pertama itu dibutuhkan waktu 10-15 tahun. Tetapi selanjutnya bisa lebih cepat. Katakanlah kalau 2020 Indonesia punya 2 GW, 2030 sudah bisa mendapatkan 20 GW dari PLTN." Dari sisi keamanan, ujarnya, sebenarnya PLTN kini menawarkan teknologi-teknologi terbaru, bahkan telah disiapkan hingga generasi keempat yang jauh lebih aman dibandingkan dengan generasi pertamanya.
Nuklir, tuturnya, juga menghasilkan emisi CO2 yang paling sedikit dibandingkan dengan jenis pembangkit lainnya, sehingga dikatakan ramah lingkungan. Adapun bahan bakar yang harus diimpor, Herman mengatakan komponen bahan bakar PLTN hanya sekitar 12%.
Biaya terbesar sebenarnya terletak pada pembangunan fasilitas pembangkitan PLTN itu sendiri, yang untuk kawasan Asia diperkirakan berada di kisaran US$1,5-US$ 3,6 juta per MW. "Yang jelas, pro dan kontrak itu biasa di negara yang baru akan menggunakan nuklir. Korsel, Eropa, bahkan di Amerika Serikat pun juga sama terjadi. Mengenai impor bahan bakar, untuk tahap pertama itu wajar dan terjadi di mana-mana. UEA impor ke Korea Selatan hingga 90 tahun untuk PLTN pertamanya," katanya.
Sumber : http://bataviase.co.id/node/252923
Saturday, 18 December 2010
Tinjauan Yuridis atas Rencana Pembangunan PLTN di Indonesia

A. Pendahuluan.
Untuk memenuhi kebutuhan listrik di masa datang, Pemerintah merencanakan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia. Rencana untuk membangun PLTN di Indonesia sebenarnya sudah cukup lama. Ide pertama untuk pembangunan dan pengoperasian PLTN sudah dimulai pada tahun 1956 dalam bentuk pernyataan dalam seminar-seminar yang diselenggarakan di beberapa universitas di Bandung dan Yogyakarta.
Rencananya, PLTN pertama yang akan dibangun tersebut berlokasi di Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah. Kapasitas PLTN Muria tersebut akan mencapai 4000 Megawatt, yang akan dibangun secara bertahap. Sebagaimana dilansir oleh Detikfinance.com (11/09/2006), disebutkan bahwa proyek pembangunan PLTN ini rencananya akan terealisasi pada 2016/2017. Karena itu, pembangunan fisik PLTN ini paling lambat harus sudah dimulai pada 2010/2011. Dengan demikian, tender mengenai pembangunan PLTN sudah harus dilakukan pada 2008. Kemudian Detikfinance.com (29/3/2007) juga melansir bahwa Indonesia akan menggandeng sejumlah negara yang unggul di bidang nuklir untuk pembangunan PLTN pertama.
Namun kerja sama ini masih harus menunggu keputusan dari presiden soal pembentukan Nuclear Energy Planning Implementation Organization (NEPIO), yang nantinya akan menentukan siapa pemilik PLTN yang akan dibangun. Selanjutnya pemilik PLTN akan menunjuk siapa vendornya. Itulah sekedar gambaran perkembangan rencana pembangunan PLTN di Indonesia saat ini.
Tulisan ini tidak hendak membicarakan mengapa rencana pembangunan PLTN tersebut sampai sekarang belum dapat direalisasikan. Tulisan ini juga tidak bermaksud untuk men-judge langkah-langkah yang dilakukan maupun statement tersebut diatas. Tulisan singkat ini hanya akan membahas ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pembangunan PLTN di Indonesia, khususnya mengenai siapa yang melaksanakan atau pelaksana dan mekanisme pembangunan PLTN serta masalah-masalah yang mungkin akan timbul dalam pelaksanaannya. Hal ini perlu untuk diketahui dan dipahami masyarakat, sehingga dapat melihat sudah sampai sejauh manakah rencana pembangunan PLTN tersebut berjalan sesuai dengan tahapan-tahapan pembangunan PLTN menurut ketentuan peraturan perundang-undangan dan apakah langkah-langkah tersebut sudah on the track.
B. Pelaksana Pembangunan PLTN.
Dasar hukum dari kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan ketenaganukliran di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (selanjutnya disingkat UUK), yang disahkan pada tanggal 10 April 1997. UUK merupakan pengganti dari UU Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom. Dalam UUK ini pulalah diatur ketentuan mengenai pembangunan PLTN, yaitu dalam Pasal 13 ayat (3) dan ayat (4). Meski singkat dan sederhana (hanya dua ayat dalam satu pasal), ketentuan inilah yang menjadi dasar atau landasan dari pembangunan PLTN di Indonesia.
Pasal 13 ayat (3) UUK menyebutkan: �Pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning reaktor nuklir komersial dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan/atau badan swasta�. Dari bunyi Pasal 13 ayat (3) UUK tersebut, kita dapat melihat bahwa ketentuan pasal ini terdiri atas dua hal.
Pertama, tentang perbuatan atau lingkup kegiatan (apa yang dilaksanakan atau melaksanakan apa?); kedua, tentang subjek atau pelakunya (siapa yang melaksanakan atau dilaksanakan oleh siapa?).
Dalam hal perbuatan atau lingkup kegiatan secara eksplisit disebutkan tiga kegiatan, yaitu: pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning reaktor nuklir komersial. UUK tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan istilah �pembangunan� dan �pengoperasian�, UUK hanya mendefinisikan istilah �dekomisioning� saja, yaitu suatu kegiatan untuk menghentikan beroperasinya reaktor nuklir secara tetap, antara lain, dilakukan pemindahan bahan bakar nuklir dari teras reaktor, pembongkaran komponen reaktor, dekontaminasi, dan pengamanan akhir.[2] Yang dimaksud dengan �pembangunan� adalah kegiatan yang dimulai dari penentuan tapak sampai dengan penyelesaian konstruksi.[3] Tapak adalah lokasi di daratan yang dipergunakan untuk pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning, satu atau lebih reaktor nuklir beserta sistem terkait lainnya.
Konstruksi adalah kegiatan membangun reaktor nuklir di tapak yang sudah ditentukan, mulai dari persiapan atau pengecoran pertama pondasi sampai dengan pemasangan dan pengujian komponen reaktor beserta sistem penunjang hingga teras reaktor tersebut siap diisi dengan bahan bakar nuklir. Sedang em>pengoperasian adalah kegiatan yang mencakup komisioning dan operasi reaktor nuklir.[4] Komisioning adalah kegiatan pengujian untuk membuktikan bahwa sistem, struktur, dan/atau komponen reaktor nuklir terpasang yang dioperasikan dengan bahan bakar nuklir memenuhi persyaratan dan kriteria desain, sedang operasi adalah kegiatan operasi reaktor nuklir secara aman dan selamat sesuai dengan desain dan tujuan pemanfaatannya.
Reaktor nuklir merupakan alat atau instalasi yang dijalankan dengan bahan bakar nuklir yang dapat menghasilkan reaksi inti berantai yang terkendali. Reaktor nuklir ini dapat digunakan untuk pembangkitan daya, penelitian, dan produksi radioisotop. Sehingga, dilihat dari sudut tujuan penggunaan/out-putnya, reaktor nuklir dibedakan menjadi reaktor daya (reaktor yang digunakan untuk pembangkitan daya/energi listrik, seperti PLTN) dan reaktor non daya (reaktor yang digunakan untuk penelitian dan/atau produksi/pembuatan radioisotop).
Kemudian, baik reaktor daya maupun reaktor non daya dibedakan lagi dari sudut tujuan pemanfaatannya, yaitu komersial dan non komersial. Oleh karena itu kegiatan atau perbuatan yang dimaksud dalam pasal 13 ayat (3) ini sangat luas, yaitu mulai dari penentuan tapak dimana reaktor nuklir komersial akan dibangun, penyelesaian konstruksi, komisioning, operasi reaktor nuklir, hingga kegiatan untuk menghentikan beroperasinya reaktor nuklir secara tetap (dekomisioning).
Kedua, tentang pelakunya atau siapa yang melaksanakan kegiatan tersebut, atau dalam ayat ini digunakan istilah �dilaksanakan oleh�. Istilah �dilaksanakan oleh� ini merupakan istilah ambigouos. Istilah ini dapat mengandung makna sebatas hanya melaksanakan pekerjaan atau sebagai �kontraktor� saja, tetapi bukan sebagai operator atau owner, atau pengusaha instalasi nuklir.
Pasal 13 ayat (3) UUK tidak menjelaskan lebih jauh ketentuan ini, bunyi penjelasannya: �cukup jelas�. Ketidakjelasan pengertian ini dapat menimbulkan pertanyaan: apakah BUMN, koperasi, dan/atau badan swasta tersebut hanya sekedar melaksanakan pekerjaan pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning reaktor nuklir komersial, atau sebagai operator atau pengusaha?
Meski UUK tidak tegas menyebutkan, Penulis cenderung untuk menafsirkan istilah �dilaksanakan oleh� dalam UU ini, dalam kapasitasnya sebagai operator atau sebagai �Pengusaha instalasi nuklir�, yaitu badan hukum yang bertanggung jawab dalam pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning reaktor nuklir (Pasal 1 angka 20 PP Nomor 43 Tahun 2006).
Berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (3) UUK tersebut, secara eksplisit ditegaskan bahwa ada tiga institusi pelaksana atau yang melaksanakan pembangunan PLTN, yaitu: BUMN, koperasi, dan badan swasta. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan ini boleh dikatakan bahwa pemerintah tidak memiliki lagi atau telah melepaskan hak eksklusifnya atas pembangunan PLTN. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan berdasarkan UU yang lama, dimana menurut UU Pokok Tenaga Atom pemerintah memberi kewenangan kepada BATAN untuk melaksanakan pemanfaatan tenaga nuklir dalam arti yang seluas-luasnya, termasuk pelaksananaan pembangunan PLTN. Sedang menurut UUK Badan Pelaksana diberi tugas yang terbatas untuk melaksanakan pemanfaatan tenaga nuklir yang bersifat non komersial saja.
C. Penetapan Pembangunan PLTN.
Pasal 13 ayat (4) UUK menyebutkan: �Pembangunan reaktor nuklir komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berupa pembangkit listrik tenaga nuklir, ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia�. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembangunan PLTN ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR.Dalam penjelasannya disebutkan: �Pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Konsultasi itu dilakukan untuk setiap tapak dimana satu atau lebih pembangkit listrik tenaga nuklir akan dibangun. Dalam konsultasi ini Pemerintah harus memperhatikan sungguh-sungguh pendapat dan saran Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan hasil konsultasi tersebut dihormati dan dijadikan pedoman oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia�.
Berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (4) beserta penjelasannya tersebut diatas, maka jelaslah bahwa setidaknya ada tiga tahapan atau langkah-langkah yang perlu dilakukan sebelum sampai pada tahapan pelaksanaan pembangunan PLTN.
Pertama,menetapkan Tapak PLTN. Secara umum, pengertian tapak adalah suatu tempat atau lokasi dimana suatu PLTN akan dibangun. Namun PP 43 Tahun 2006 membatasi pengertian tapak hanya lokasi di daratan saja.[5] Berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (4) UUK, maka langkah pertama yang mesti dilakukan adalah memilih atau menetapkan tapak atau lokasi dimana PLTN tersebut akan dibangun. Langkah ini merupakan langkah penting untuk tahapan berikutnya, yaitu Pemerintah berkonsultasi dengan DPR. Berdasarkan studi lokasi PLTN, bahwa Semenanjung Muria adalah lokasi yang paling ideal dan diusulkan agar digunakan sebagai lokasi pembangunan PLTN yang pertama di Indonesia.[6] Meski lokasi ideal pembangunan PLTN sudah ada, namun hingga saat ini tampaknya belum ada pernyataan/ keputusan resmi dari pihak-pihak yang akan melaksanakan pembangunan PLTN bahwa di tempat /lokasi tersebut PLTN akan dibangun. Bila lokasi dimana PLTN mau dibangun saja belum ditentukan, apa yang mau dikonsultasikan Pemerintah dengan DPR?
Kedua, konsultasi Pemerintah dan DPR.Sebelum menetapkan pembangunan PLTN, Pemerintah harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR. Penjelasan Pasal 13 ayat (4) menyebutkan bahwa konsultasi itu dilakukan untuk setiap tapak dimana satu atau lebih PLTN akan dibangun. Disana dengan tegas disebutkan �untuk setiap tapak�, jadi jelaslah bahwa disini kata kuncinya adalah �tapak�. Hal ini berarti bahwa konsultasi antara Pemerintah dan DPR dilaksanakan setelah tapak dimana PLTN akan dibangun sudah dipilih atau ditetapkan. Dengan kata lain, lokasi dimana PLTN akan dibangun sudah jelas.
Sehubungan dengan konsultasi antara Pemerintah dan DPR ini, dapat timbul pertanyaan, bagaimana bentuk konsultasi tersebut? Apakah misalnya DPR dapat diwakili oleh Pimpinan DPR atau pimpinan fraksi saja atau harus dengan seluruh anggota Dewan (paripurna)? Apakah pemerintah cukup diwakili oleh satu orang menteri saja (misalnya oleh menteri yang menangani bidang energi) atau beberapa orang menteri atau harus dilakukan sendiri/dihadiri oleh Presiden? Sebagaimana diketahui, sesuai dengan Tata Tertib DPR, konsultasi antara DPR dengan Lembaga Negara dilaksanakan dalam bentuk: pertemuan antara Pimpinan DPR dengan Pimpinan Lembaga Negara yang lain, pertemuan antara Pimpinan DPR bersama unsur Pimpinan Fraksi DPR dengan Pimpinan Lembaga Negara yang lain, pertemuan antara Pimpinan DPR, Pimpinan Fraksi, dan Pimpinan alat kelengkapan DPR lainnya yang ruang lingkup tugasnya terkait dengan pokok masalah yang dibahas dengan Pimpinan Lembaga Negara yang lain, dan pertemuan antara Pimpinan DPR, Pimpinan Fraksi, dan alat kelengkapan DPR lainnya sesuai dengan ruang lingkup tugasnya dengan Pimpinan dan/atau unsur jajaran Lembaga Negara yang lain.
Berdasarkan Peraturan
Tata Tertib DPR tersebut, maka menurut penulis konsultasi antara Pemerintah dan DPR tersebut harus berupa pertemuan antara Presiden dan Pimpinan DPR. Kemudian, masalah lainnya yang mungkin timbul sehubungan dengan konsultasi ini adalah bagaimana seandainya DPR menolak berkonsultasi atau membatalkan konsultasi? Seperti kita ketahui bahwa DPR pernah membatalkan agenda rapat konsultasi dengan Presiden soal rencana kenaikan harga BBM pada bulan Mei 2008 (AntaraNews, 22/5/2008). Atau bagaimana seandainya Pemerintah tetap nekat menetapkan pembangunan PLTN tanpa memperhatikan sungguh-sungguh pendapat dan saran DPR?
Ketiga, ditetapkan oleh Pemerintah. Setelah berkonsultasi dengan DPR barulah Pemerintah menetapkan pembangunan PLTN. Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan PLTN dilaksanakan oleh BUMN, koperasi, dan/atau badan swasta.
Dalam hal ini Pemerintah hanya menetapkan pembangunan PLTN saja, jadi bukan melaksanakan pembangunan PLTN. Sehubungan dengan penetapan pembangunan PLTN ini dapat timbul pertanyaan, bagaimana atau dalam bentuk apa Pemerintah menetapkan pembangunan PLTN tersebut? Apakah dengan Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden? UUK tidak dengan tegas mengatur hal ini.
D. PP Nomor 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir.
Pasal 5 ayat (4) PP Nomor 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir menyebutkan: �Pembangunan reaktor daya komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berupa pembangkit listrik tenaga nuklir, ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang tenaga listrik setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia�. Kalau kita perhatikan Pasal 5 ayat (4) PP 43 Tahun 2006 ini, tampaknya substansi yang diaturnya nyaris sama dengan Pasal 13 ayat (4) UUK, yaitu tentang yang menetapkan pembangunan PLTN.
Bedanya, pertama, dalam soal istilah dalam UUK disebut �reaktor nuklir�, sedang dalam PP disebut �reaktor daya�, tetapi keduanya sama-sama yang bersifat �komersial� dan �yang berupa PLTN�. Kedua, perihal siapa yang menetapkan, menurut UUK yang menetapkan adalah Pemerintah, sedang menurut PP adalah menteri.
Pertanyaannya, apakah �reaktor nuklir komersial yang berupa PLTN� berbeda dengan �reaktor daya komersial yang berupa PLTN�? Tampaknya keduanya sama. Lantas, kalau sama mengapa dalam UUK disebutkan ditetapkan oleh pemerintah, sedang menurut PP ditetapkankan oleh menteri? Apakah pemerintah sama dengan menteri?
Dari sudut aparatur, menteri memang merupakan aparat pemerintah dan pemerintah kadang bahkan sering diwakili oleh menteri khususnya dalam pembahasan suatu RUU di DPR. Namun demikian, dari sudut ilmu perundang-undangan ada perbedaan antara ditetapkan oleh pemerintah dan ditetapkan oleh menteri. Bila disebutkan ditetapkan oleh pemerintah maka produk hukumnya kemungkinan adalah PP, Perpres atau Keppres. Sedang bila disebutkan ditetapkan oleh menteri, maka kemungkinan produk hukumnya adalah Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri. Hierarkinya jelas berbeda.
Dengan demikian, ketentuan Pasal 5 ayat (4) PP dapat timbul kesan dualisme aturan. Walau demikian, sesuai dengan asas-asas peraturan perundang-undangan bahwa aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, maka aturan/ketentuan yang menetapkan bahwa pembangunan PLTN ditetapkan oleh menteri tidak berlaku. Selain itu, kalau kita lihat ketentuan Pasal 13 UUK, tampaknya tidak mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dalam PP, dengan kata lain hal ini berarti bahwa penetapan ini tidak dapat didelegasikan. Selain itu, kalau kita lihat penjelasan Pasal 5 (4) PP Nomor 43 Tahun 2006, tampaknya kurang tepat/tidak nyambung dengan substansi pasal yang diatur.[7] Substansi yang diatur dalam Pasal 5 (4) PP Nomor 43 Tahun 2006 adalah penetapan pembangunan PLTN, sedang dalam penjelasannya mengenai penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), meskipun antara pembangunan PLTN berhubungan dengan RUKN namun substansi permasalahannya berbeda.
E. Penutup.
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa berdasarkan UUK pembangunan PLTN hanya dapat dilaksanakan oleh BUMN, koperasi, dan/atau badan swasta. Oleh karena itu, apabila pemerintah ingin atau berencana membangun PLTN, maka sebaiknya pemerintah membentuk BUMN, atau bila memang memungkinkan �menugaskan� BUMN yang sudah ada, untuk melaksanakan pembangunan PLTN tersebut yaitu mulai dari pemilihan tapak dimana lokasi PLTN akan dibangun. Sehingga, Pemerintah tidak secara langsung menangani/mengurusi pembangunan PLTN. Hal ini untuk menghindarkan kesan seolah-olah Pemerintah yang mau membangun PLTN.
Selanjutnya, sesuai dengan tahapan atau langkah pertama apabila ingin membangun PLTN di Indonesia adalah memilih atau menetapkan tapak atau lokasi dimana PLTN akan dibangun, kemudian Pemerintah berkonsultasi dengan DPR, selanjutnya Pemerintah menetapkan pembangunan PLTN tersebut. Setelah ditetapkan oleh Pemerintah barulah pelaksanaan pembangunan PLTN itu sendiri dapat dimulai.
Tulisan ini merupakan pandangan pemikiran pribadi semata-mata agar rencana pembangunan PLTN di Indonesia berjalan on the track sesuai dengan UUK dan dapat terwujud sesuai dengan harapan. Semoga!.
*****
DAFTAR PUSTAKA
1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran
2. PP Nomor 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir.
3. Peraturan Tata Tertib DPR.
4. DetikFinance, 11 September 2006.
5. DetikFinance, 29 Maret 2007.
6. AntaraNews, 22 Mei 2008.
[1] Penulis adalah Perancang Peraturan Perundang-undangan.
[2] Pasal 1 angka 13 UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
[3] Pasal 1 angka 5 PP Nomor 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir.
[4] Pasal 1 angka 6 PP Nomor 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir.
[5] Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir, menyebutkan: �Tapak adalah lokasi di daratan yang dipergunakan untuk
pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning, satu atau lebih reaktor nuklir
beserta sistem terkait lainnya�.
[6] PPEN-BATAN, Sejarah Singkat Program Pembangunan PLTN di Indonesia, 1,
(http://www.batan.go.id/ppen/tu/SejarahPLTN.htm)
[7] Penjelasan Pasal 5 ayat (4) PP Nomor 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir, menyebutkan: �Yang ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang tenaga listrik adalah Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional dalam rangka terwujudnya keamanan pasokan energi tenaga listrik di dalam negeri, tetapi tidak termasuk perizinan reaktor nuklir�.
Dikutip dari : http://www.legalitas.org/content/tinjauan-yuridis-rencana-pembangunan-pltn-indonesia#_ftn1
Friday, 17 December 2010
Mundur, Pembangunan PLTN di Indonesia

"Rencana 2016 impossible," ujar Hudi kepada para wartawan, Jumat (30/4/2010) di Gedung BPPT, Jakarta. Hudi memaparkan beberapa persiapan yang masih perlu dilakukan, seperti program, infrastruktur, sumber daya alam dan sumber daya manusia, serta laporan analisis keselamatan atau LAK. LAK dikatakan sebagai syarat pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Syarat inilah yang paling berat. Secara umum, LAK berisi analisis kejadian yang mungkin terjadi ketika PLTN dibangun, beserta asumsi yang disepakati bersama, penanganannya, serta perencanaan darurat (emergency planning)-nya.
"Jadi, kita harus memetakan hal-hal terburuk yang dapat terjadi serta penanganannya. Misalnya, sistem pendingin PLTN mati, atau pipanya patah akibat gempa. Ini cukup sulit," katanya.
Hudi menambahkan, hingga saat ini belum diputuskan lembaga mana yang akan menjalankan PLTN. Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), katanya, hanya bertugas mempersiapkan sarana dan prasarana. Ia menegaskan, pembangunan PLTN perlu melibatkan semua pemangku kepentingan, mulai dari Batan, Bapeten, kementerian-kementerian terkait, hingga universitas.
Energi terbarukan tetap jalan
Hudi mengatakan, pembangunan PLTN tidak berarti menegasikan usaha penciptaan energi terbarukan. Pemerintah masih terus mengupayakan penggunaan energi terbarukan, seperti biomass, geotermal, bioetanol, energi surya, dan biofuel. "Ayo, kita kembangkan semua sumber energi dan energi terbarukan," katanya.
Huda berpendapat, usaha penciptaan energi terbarukan tetap dilakukan secara bersamaan dengan pembangunan PLTN. Pasalnya, dirinya memperkirakan kebutuhan energi suatu negara terus meningkat seiring bertambah makmurnya negara tersebut. Ada korelasi antara peningkatan indeks pembangunan manusia dan kebutuhan energi.
Sementara itu, Irwanuddin M Eng dari Pusat Pengkajian Pengembangan Energi Nuklir Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia meminta agar masyarakat tidak lagi menggunakan alasan bocornya reaktor nuklir di Chernobyl, Ukraina, sebagai alasan menentang pembangunan PLTN di Indonesia. "Di Chernobyl, ada empat reaktor nuklir. Tiga reaktor power plant dan satu reaktor riset. Yang bocor adalah reaktor riset. Reaktor riset itu tipe 150 dan sifatnya masih klasik. Reaktor untuk power plant stabil," ujarnya.
Irwan mengatakan, penggunaan energi nuklir dapat disandingkan dengan penggunaan energi terbarukan lainnya. Dirinya mencontohkan Rusia, yang 75 persen sumber listriknya berasal dari PLTN.
Sumber : http://sains.kompas.com/read/2010/04/30/13310043/Mundur..Pembangunan.PLTN.di.Indonesia
PLTN Muria dan Problem Kesetimbangan

Meski rencana tersebut menurut pemerintah dimaksudkan sebagai langkah mengatasi krisis energi yang akan terjadi pada 2025, toh demikian reaksi warga terhadap rencana pembangunannya, ketika itu, masih tegas menolak. Bahkan, ketika penulis berkunjung ke sana, terpampang banyak spanduk di jalan-jalan setapak kampung yang menyatakan penolakan keras. �Hidup Mati Warga Balong Tolak PLTN,� demikian salah satu bunyi spanduk itu. Apakah penolakan itu masih terdengar nyaring?
Setelah tidak diekspos media secara besar-besaran selama kurang lebih dua tahun, penolakan rencana seperti ditelan bumi. Bahkan, beberapa waktu lalu, Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menneg Ristek) Kusmayanto Kadiman menegaskan bahwa tak ada perubahan dalam rencana pembangunan PLTN Muria. Megaproyek yang mengacu pada UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) itu bahkan ditargetkan beroperasi pada 2016.
Informasi tersebut berbeda dengan kabar yang saya terima dari seorang sarjana nuklir dari Jepara. Dia pernah mengatakan kepada saya bahwa setelah mendengar penolakan PLTN dari warga Balong, yang berbuntut pada keluarnya fatwa haram PLTN dari LBM NU Cabang Jepara, presiden memutuskan untuk menunda keputusan jalan dan tidaknya PLTN Muria hingga 2015.
Secara ideal, PLTN adalah perwujudan dari mimpi untuk membangun bangsa. Kita yakin pemerintah mencanangkan program itu untuk kepentingan rakyat banyak. Sumber energi yang diprediksi menelan biaya hingga Rp12 triliun itu rencananya dibangun dengan kekuatan hingga 6.000 mega watt (MW). Siapa pun akan mendukung rencana mulia itu.
Namun, dalam praktik, untuk mendapatkan dukungan itu harus melewati negosiasi agar tercapai apa yang disebut kesetimbangan sosial dan kultural. Terjadinya penolakan tegas dari warga Balong karena belum adanya kesetimbangan kepentingan bersama.
Tiga kesetimbangan
Warga yang daerahnya dijadikan lokasi proyek merasa khawatir akan bahaya PLTN sebagaimana kecelakaan yang terjadi di Chernobyl, Ukraina, 25 April 1986, yang menewaskan ratusan korban. Sementara itu, pemerintah tetap bersikukuh bahwa PLTN yang akan dibangun itu berbeda dengan yang dulu ada di negara pecahan Uni Soviet tersebut. Jelas tidak akan terjadi kesetimbangan sosial, manakala mekanisme yang ditempuh adalah petak umpet, sembunyi-sembunyi.
Ketika penulis berkunjung ke Balong, banyak warga yang pada awalnya mengaku tidak mengetahui adanya rencana pembangunan PLTN, padahal bangunan untuk melakukan kegiatan penelitian proyek tersebut sudah berdiri kokoh. Mereka mengetahui rencana tersebut setelah ada wartawan asing yang datang meliput ke desa. Jika cara ini yang ditempuh, jelas tidak akan menemukan kesetimbangan sosial, justru keriuhan.
Barangkali pemerintah merasa perlu membangun PLTN untuk memenuhi keseimbangan energi di masa depan. Sebuah harapan yang optimistis. Secara filosofis, Tuhan memang menciptakan alam ini dengan kesetimbangan ekologis yang pasti. Dunia dan alam ini adalah titipan Tuhan yang diberikan sepenuhnya untuk kesejahteraan manusia di muka bumi.
Jika manusia memanfaatkannya dengan baik, kebutuhan manusia akan tercukupi. Tidak akan ada kekurangan energi. Yang membuat bumi rusak adalah kerakusan. Mahatma Gandhi pernah berkata: bumi ini bisa menampung segala apa yang ada di atasnya, kecuali kerakusan dan keserakahan manusia. Apakah pembangunan PLTN berangkat dari kerakusan atau kesadaran mengelola amanat Tuhan, tidak ada yang tahu, kecuali orang-orang yang berkepentingan.
Tiadanya kesetimbangan etis dalam pengelolaan PLTN pasca pembangunan juga menyisakan problem. Banyak orang yang menyangsikan kualitas sumber daya manusia Indonesia untuk mengelola megaproyek yang akan menyedot biaya besar tersebut.
Mental masyarakat kita masih belum bisa dianggap mandiri, bersih dari korupsi, dan kecurangan politik. Banyak unsur human error yang dijadikan alasan beberapa pihak menolak ambisi pemerintah itu. Ada kekhawatiran, bila PLTN Muria benar-benar direalisasikan, bukan kesetimbangan energi dalam negeri yang tercipta, melainkan pengangkutan energi ke luar negeri.
Tiga problem kesetimbangan tersebut, yakni kesetimbangan sosial, ekologis, dan etis perlu diselesaikan pemerintah bila ingin memuluskan rencana tersebut. Pemerintah, yang terutama diwakili Pemerintah Kabupaten Jepara, harus berani menghadapi masyarakat yang menolak. Jangan sampai masyarakat terus dirundung kekhawatiran.
Selain itu, media juga harus memantau secara simultan perkembangan proses menuju kesetimbangan itu, agar berjalan sesuai dengan mekanisme yang berlaku serta ketentuan-ketentuan hukum yang telah distandardisasi dunia internasional. Ini terutama berkaitan dengan proses negosiasi antara pemerintah dan warga.
Pernyataan Menneg Ristek yang terus melanjutkan rencana pembangunan PLTN Muria akan menemukan kebenarannya jika bisa menyelesaikan ketiga problem kesetimbangan tersebut. Pendekatan politik an sich, tanpa ada upaya-upaya mencapai kesetimbangan secara kultural hanya akan melahirkan ketidakpuasan massa di mana-mana.
M Abdullah Badri Warga Jepara Peneliti Budaya di Idea Studies IAIN Walisongo Semarang
www.kompas.com
Sejarah Singkat Program Pembangunan PLTN di Indonesia

Berdasarkan statistik PLTN dunia tahun 2002 terdapat 439 PLTN yang beroperasi di seluruh dunia dengan kapasitas total sekitar 360.064 GWe, 35 PLTN dengan kapasitas 28.087 MWe sedang dalam tahap pembangunan. PLTN yang direncanakan untuk dibangun ada 25 dengan kapasitas 29.385 MWe. Kebanyakan PLTN baru dan yang akan dibangun berada di beberapa negara Asia dan Eropa Timur. Memang di negara maju tidak ada PLTN yang baru, tetapi ini tidak berarti proporsi listrik dari PLTN akan berkurang. Di Amerika beberapa PLTN telah mendapatkan lisensi perpanjangan untuk dapat beroperasi hingga 60 tahun, atau 20 tahun lebih lama daripada lisensi awalnya.
Di Indonesia, ide pertama untuk pembangunan dan pengoperasian PLTN sudah dimulai pada tahun 1956 dalam bentuk pernyataan dalam seminar-seminar yang diselenggarakan di beberapa universitas di Bandung dan Yogyakarta. Meskipun demikian ide yang sudah mengkristal baru muncul pada tahun 1972 bersamaan dengan dibentuknya Komisi Persiapan Pembangunan PLTN (KP2PLTN) oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (Departemen PUTL). Kemudian berlanjut dengan diselenggarakannya sebuah seminar di Karangkates, Jawa Timur pada tahun 1975 oleh BATAN dan Departemen PUTL, dimana salah satu hasilnya suatu keputusan bahwa PLTN akan dikembangkan di Indonesia. Pada saat itu juga sudah diusulkan 14 tempat yang memungkinkan di Pulau Jawa untuk digunakan sebagai lokasi PLTN, dan kemudian hanya 5 tempat yang dinyatakan sebagai lokasi yang potensial untuk pembangunan PLTN.
Pada perkembangan selanjutnya setelah dilakukan beberapa studi tentang beberapa lokasi PLTN, maka diambil suatu keputusan bahwa Semenanjung Muria adalah lokasi yang paling ideal dan diusulkan agar digunakan sebagai lokasi pembangunan PLTN yang pertama di Indonesia. Disusul kemudian dengan pelaksanaan studi kelayakan tentang introduksi PLTN yang pertama pada tahun 1978 dengan bantuan Pemerintah Itali, meskipun demikian, rencana pembangunan PLTN selanjutnya terpaksa ditunda, untuk menunggu penyelesaian pembangunan dan pengoperasian reaktor riset serbaguna yang saat ini bernana �GA Siwabesy� berdaya 30 MWth di Puspiptek Serpong.
Pada tahun 1985 pekerjaan dimulai dengan melakukan reevaluasi dan pembaharuan studi yang sudah dilakukan dengan bantuan International Atomic Energy Agency (IAEA), Pemerintah Amerika Serikat melalui perusahaan Bechtel International, Perusahaan Perancis melalui perusahaan SOFRATOME, dan Pemerintah Itali melalui perusahaan CESEN. Dokumen yang dihasilkan dan kemampuan analitis yang dikembangkan dengan program bantuan kerjasama tersebut sampai saat ini masih menjadi dasar pemikiran bagi perencanaan dan pengembangan energi nuklir di Indonesia khususnya di Semenanjung Muria.
Pada tahun 1989, Pemerintah Indonesia melalui Badan Koordinasi Energi Nasional (BAKOREN) memutuskan untuk melakukan studi kelayakan yang komprehensif termasuk investigasi secara mendalam tentang calon tapak PLTN di Semenanjung Muria Jawa-Tengah. Pelaksanaan studi itu sendiri dilaksanakan di bawah koordinasi BATAN, dengan arahan dari Panitia Teknis Energi (PTE), Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, dan dilakukan bersama-sama oleh beberapa instansi lain di Indonesia.
Pada bulan Agustus tahun 1991, sebuah perjanjian kerja tentang studi kelayakan telah ditandatangani oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia dengan Perusahaan Konsultan NEWJEC Inc. Perjanjian kerja ini berjangka waktu 4,5 tahun dan meliputi pelaksanaan pekerjaan tentang pemilihan dan evaluasi tapak PLTN, serta suatu studi kelayakan yang komprehensif tentang kemungkinan pembangunan berbagai jenis PLTN dengan daya total yang dapat mencapai 7000 MWe. Sebagian besar kontrak kerja ini digunakan untuk melakukan pekerjaan teknis tentang penelitian pemilihan dan evaluasi tapak PLTN di lokasi tapak di Semenanjung Muria.
Pada 2 tahapan pekerjaan yang pertama (Step 1-2) sudah dilakukan dengan baik pada tahun 1992 dan 1993. Pada fase ini 3 buah calon tapak yang spesifik sudah berhasil dilakukan dengan studi perbandingan dan ditentukan rangkingnya. Sebagai kesimpulan didapatkan bahwa calon tapak terbaik adalah tapak PLTN Ujung Lemahabang. Kemudian tahapan kegiatan investigasi akhir (Step-3) dilakukan dengan mengevaluasi calon tapak terbaik tersebut untuk melakukan konfirmasi apakah calon tapak tersebut betul dapat diterima dan memenuhi standar internasional. Studi tapak PLTN ini akhirnya dapat diselesaikan pada tahun 1995. Secara keseluruhan, studi tapak PLTN di Semanjung Muria dapat diselesaikan pada bulai Mei tahun 1996. Selain konfirmasi kelayakan calon tapak di Semanjung Muria, hasil lain yang penting adalah bahwa PLTN jenis air ringan dengan kapasitas antara 600 s/d 900 MWe dapat dibangun di Semenanjung Muria dan kemudian dioperasikan sekitar tahun 2004 sebagai solusi optimal untuk mendukung sistem kelistrikan Jawa-Bali.
Pada tahun-tahun selanjutnya masih dilakukan lagi beberapa studi tambahan yang mendukung studi kelayakan yang sudah dlakukan, antara lain studi penyiapan �Bid Invitation Specification� (BIS), studi pengembangan dan evaluasi tapak PLTN, studi perencanaan energi dan kelistrikan nasional dan studi pendanaan pembangunan PLTN. Selain itu juga dilakukan beberapa kegiatan yang mendukung aktivitas desain dan pengoperasian PLTN dengan mengembangkan penelitian di beberapa fasilitas penelitian BATAN, antara lain penelitian teknologi dan keselamatan PLTN, proteksi radiasi, bahan bakar nuklir dan limbah radioaktif serta menyelenggarakan kerjasama internasional dalam bentuk partisipasi desain PLTN.
Akibat krisis multidimensi yang terjadi pada tahun 1998, maka dipandang layak dan perlu untuk melakukan evaluasi kembali tentang kebutuhan (demand) dan penyediaan (supply) energi khususnya kelistrikan di Indonesia. Untuk itu suatu studi perancanaan energi dan kelistrikan nasional jangka panjang �Comprehensive Assessment of Different Energy Resources for Electricity Generation in Indonesia� (CADES) yang dilakukan dan diselesaikan pada tahun 2002 oleh sebuah Tim Nasional di bawah koordinasi BATAN dan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dengan dukungan IAEA.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa kebutuhan energi di Indonesia diproyeksikan meningkat di masa yang akan datang. Kebutuhan energi final (akhir) akan meningkat dengan pertumbuhan 3,4% per tahun dan mencapai jumlah sekitar 8146 Peta Joules (PJ) pada tahun 2025. Jumlah ini adalah sekitar 2 kali lipat dibandingkan dengan kebutuhan energi final di awal studi tahun 2000. Pertumbuhan jenis energi yang paling besar adalah pertumbuhan kapasitas pembangkitan energi listrik yang mencapai lebih dari 3 kali lipat dari kondisi semula, yaitu dari 29 GWe di tahun 2000 menjadi sekitar 100 GWe di tahun 2025. Jumlah kapasitas pembangkitan ini, sekitar 75% akan dibutuhkan di jaringan listrik Jawa-Madura-Bali (Jamali). Dari berbagai jenis energi yang tersedia untuk pembangkitan listrik dan dilihat dari sisi ketersediaan dan keekonomiannya, maka energi gas akan mendominasi penyediaan energi guna pembangkitan energi listrik, sekitar 40% untuk wilayah Jamali. Energi batubara akan muncul sebagai pensuplai kedua setelah gas, yaitu sekitar 30% untuk wilayah Jamali. Sisanya sekitar 30% untuk akan disuplai oleh jenis energi yang lain, yaitu hidro, mikrohidro, geothermal dan energi baru dan terbarukan lainnya. Diharapkan energi nuklir dapat menyumbang sekitar 5-6% pada tahun 2025.
Mengingat situasi penyediaan energi konvensional termasuk listrik nasional di masa mendatang semakin tidak seimbang dengan kebutuhannya, maka opsi nuklir dalam perencanaan sistem energi nasional jangka panjang merupakan suatu solusi yang diharapkan dapat mengurangi tekanan dalam masalah penyediaan energi khususnya listrik di Indonesia. Berdasarkan kajian yang sudah dilakukan tersebut di atas maka diharapkan pernyataan dari semua pihak yang terkait dengan pembangunan energi nasional bahwa penggunaan energi nuklir di Indonesia sudah diperlukan, dan untuk itu perlu dimulai pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sekitar tahun 2010, sehingga sudah dapat dioperasikan secara komersial pada sekitar tahun 2016.
BATAN sebagai Lembaga Pemerintah, berdasarkan Undang-undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, telah dan akan terus bekerjasama dengan Lembaga Pemerintah terkait, Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga dan Masyarakat Internasional, dalam mempersiapkan pengembangan energi nuklir di Indonesia, khususnya dalam rangka mempersiapkan pengembangan energi nuklir tersebut adalah studi dan kajian aspek energi, teknologi, keselamatan, ekonomi, lingkungan hidup, sosial-budaya, dan manajemen yang tertuang dalam bentuk rencana stratejik 2006-2010 tentang persiapan pengembangan energi nuklir di Indonesia.
source: batan.go.id
PLTN Di Babel Adalah Kebanggaan Baru

Bertempat di Hotel Bumi Asih Pangkal Pinang, selain walikota, FGD juga dihadiri oleh para pengusaha dan pemangku kepentingan di Pangkal Pinang. FGD sendiri berlangsung dalam suasana santai namun fokus membahas perlunya PLTN dibangun di Babel.
Selanjutnya Zulkarnain menyebutkan saat ini perjalanan PLTN di Babel sudah cukup jauh dan memasuki tahap riset calon tapak, ia mempunyai usul untuk mengumpulkan 30.000 tanda tangan masyarakat Babel untuk mendukung PLTN di Babel. Menurutnya jangan sampai ada tirani minoritas dari segelintir orang yang mengatasnamakan rakyat dan menolak PLTN padahal saat ini rakyat benar-benar sedang mengalami krisis listrik yang parah. Kalangan media pun sangat mendukung rencana pembangunan PLTN di Babel, bahkan memiliki semboyan tersendiri �Yok, kite punya PLTN�.
Kebutuhan Babel saat ini sekitar 600 MW, jika ada dua unit PLTN saja dengan masing-masing kapasitas 1.300 MW maka sekitar 2.000 MW sisanya dapat diekspor keluar Babel seperti ke Sumatera dan daerah-daerah lainnya.
Salah seorang putra daerah Babel yang baru saja menerima penghargaan kalpataru Johan Riduan menyebutkan pada prinsipnya masyarakat Babel hidupnya bergantung dari timah, bagaimana jika kemudian produksi timah habis? Johan menyebutkan perlu adanya diversifikasi usaha di bidang lainnya seperti pariwisata, industri dll, yang penting menurutnya adalah masyarakat memiliki modal kapital. Ketersediaan energi yang cukup dalam hal ini listrik sangat dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sehingga kebutuhan akan PLTN di Babel adalah mutlak.
Sementara itu Deputi Bidang Pendayagunaan Hasil Litbang dan Pemasyarakatan Iptek Nuklir (PHLPN) BATAN Taswanda Taryo menyatakan perlunya statemen tegas dari pemerintah pusat untuk membangun PLTN. BATAN sendiri juga sudah melaksanakan amanat Inpres no.1 Tahun 2010 untuk melakukan sosialisasi iptek nuklir diantaranya melalui media campaign, informasi dan edukasi publik serta pemberdayaan masyarakat. FGD sendiri berlangsung hangat hingga larut malam. Antusiasme para peserta terlihat dengan saling bergantian secara aktif memberi pendapat, serta saran terkait dengan PLTN. (eph)
Sumber : http://humbahas.blogspot.com/2010/06/pltn-di-babel-adalah-kebanggaan-baru.html
PLTN Aman dan Ramah Lingkungan?

Pemerintah, menurut saya hanya melakukan �subsidi silang�, yaitu dengan menaikkan TDL akan membantu mengurangi subsidi BBM. Namun sampai kapan �subsidi silang� itu akan bertahan? Pada waktunya nanti, sumber energi kita, meskipun SDA memadai, tetap saja akan terkuras habis. Karena itu, yang diperlukan mestinya tidak semata-mata persoalan subsidi dengan menaikkan TDL, tetapi juga harus memikirkan ekstra keras bagaimana ke depan kita dapat memperoleh pasokan energi listrik yang cukup dan berkualitas.
Sejauh ini, para ahli dan pemerintah menaruh harapan besar pada realisasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Badan Energi Atom Internasional (IAEA) memperbolehkan Indonesia membangun PLTN. Rencananya tahun 2017 Indonesia akan punya PLTN. Namun fakta bicara lain, sekadar berencana saja, yang pasalnya bakal diujicobakan di daerah Jepara Jawa Tengah, masyarakat setempat menolak realisasi program PLTN itu.
Dari sana, muncul pertanyaan mendasar, mengapa masyarakat menolak rencana pembangunan PLTN? Sebegitu bahayakah PLTN bila diterapkan di negara kita? Pertanyaan-pertanyaan ini sejatinya dapat dijawab tuntas oleh pemangku wewenang pemerintah atau PLN.
Tinjauan akademis
Memang, sampai saat ini, dalam benak kita, begitu mendengar kata �nuklir�, imajinasi kita langsung tertuju pada senjata pemusnah massal layaknya bom atom, atau bahaya radiasi akibat kecelakaan instalasi seperti yang terjadi di Chernobyl (Ukraina) dan Three Mile Island, AS. Namun menurut para ahli, hal tersebut sudah tidak relevan lagi.
Energi nuklir merupakan hasil dari reaksi fisi yang terjadi pada inti atom. Dewasa ini, reaksi inti yang banyak digunakan oleh manusia untuk menghasilkan energi nuklir adalah reaksi yang terjadi antara partikel dengan inti atom yang digolongkan dalam kelompok heavy atom seperti aktinida. Berbeda dengan reaksi kimia biasa yang hanya mengubah komposisi molekul setiap unsurnya dan tidak mengubah struktur dasar unsur penyusun molekulnya, pada reaksi inti atom atau reaksi fisi, terjadi perubahan struktur inti atom menjadi unsur atom yang sama sekali berbeda.
Ada beberapa keunggulan PLTN. Pertama, menghasilkan energi bersih. Para ahli berkesimpulan, bahwa PLTN tidak mengeluarkan gas berbahaya seperti CO2, SOX dan NOX. Saat ini, setiap tahun 25 milyar ton CO2 dilepas ke atmosfer, menyebabkan efek rumah kaca dan berujung pada pemanasan global. PLTN ramah lingkungan karena mampu mengurangi emisi CO2 yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil sehingga PLTN adalah solusi energi dalam mencegah pemanasan global.
Kedua, stabil dan efisien. PLTN mampu menghasilkan energi yang besar, dengan kesetaraan 1 g EU (enriched uranium) sebanding dengan 112 kg batubara membuat PLTN tidak banyak membutuhkan bahan bakar. Penggantian bahan bakar dengan waktu 1,5 tahun membuat PLTN sangat efisien, sehingga fluktuasi naik turunnya harga uranium tidak akan banyak mempengaruhi harga jual listrik PLTN.
Ketiga, diversifikasi energi dan bernilai ekonomis. PLTN akan mengurangi kebergantungan terhadap energi fosil. Kehadiran PLTN bukan untuk menggantikan energi fosil tetapi sebagai pelengkap untuk menjamin ketersediaan energi. Hal ini juga akan menyebabkan stabilnya harga jual listrik meskipun harga minyak dan batubara naik. Biaya PLTN jauh lebih besar dikonstruksi dibandingkan dengan biaya bahan bakarnya. Dengan umur pembangkit yang mampu mencapai 60-70 tahun menyebabkan harga listrik PLTN paling murah jika dibandingkan dengan pembangkit lainnya.
Keempat, dapat memfungsikan limbah dan daur ulang bahan bakar. Untuk satu unit PLTN 1000 Mwe dengan operasi 40 tahun hanya membutuhkan tempat penyimpanan limbah berukuran 3 x 4 x 10 m3. Limbah itu sendiri merupakan bahan bakar yang sudah terpakai (spent fuel), namun demikian limbah itu juga merupakan aset yang berharga di masa yang akan datang karena mampu didaur ulang menjadi bahan bakar PLTN lagi.
Langkah pengamanan
Persoalannya, jika memang benar bahwa PLTN tidak berbahaya, mengapa terjadi penolakan di kalangan masyarakat? Barangkali ada beberapa kemungkinan. Yakni masyarakat kita sangat awam soal pengetahuan nuklir, dan mestinya hal ini bisa disikapi oleh pemerintah dengan misalnya melakukan sosialisasi pengetahuan tentang PLTN itu sendiri. Sebab yang terjadi selama ini, pemerintah cenderung lebih mengutamakan �wacana� realisasi program daripada sosialisasi terlebih dahulu. Akibatnya, sudah pasti terjadi kontroversi di kalangan masyarakat.
Pengetahuan tentang pola pengamanan tidak tersampaikan dengan baik oleh pemerintah kepada masyarakat luas. Padahal, negara-negara tetangga yang menerapkan PLTN telah menerapkan sistem pengamanan berlapis (defence in depth). Pertama, PLTN dirancang dan dioperasikan sesuai dengan ketentuan yang sangat ketat, mutu yang tinggi dan teknologi mutakhir. Kedua, PLTN dilengkapi dengan sistem pengaman/keselamatan yang digunakan untuk mencegah dan mengatasi akibat-akibat dari kecelakaan yang mungkin terjadi selama umur PLTN. Ketiga, PLTN dilengkapi dengan sistem tambahan yang dapat diandalkan untuk mengatasi kecelakaan terparah yang diperkirakan dapat terjadi pada suatu PLTN. Walau begitu, konon, kecelakaan tersebut kemungkinannya amat sangat kecil terjadi selama umur PLTN.
Selama operasi PLTN, pencemaran yang disebabkan oleh zat radioaktif terhadap lingkungan dapat dikatakan tidak ada. Air laut atau air sungai yang dipergunakan untuk membawa panas dari kondensor sama sekali tidak mengandung zat radioaktif, karena tidak bercampur dengan air pendingin yang bersirkulasi di dalam reaktor. Gas radioaktif yang dapat ke luar dari sistem reaktor tetap terkungkung di dalam sistem pengungkung PLTN, dan sudah melalui ventilasi dengan filter yang berlapis-lapis. Gas yang lepas melalui cerobong aktivitasnya sangat kecil (sekitar 2 milicurie/tahun), sehingga tidak menimbulkan dampak terhadap lingkungan.
Pengalaman Jepang sangat menarik disampaikan. Tahun 1945 Jepang di bom atom oleh Amerika, dua kotanya Hiroshima dan Nagasaki hancur lebur. Namun Jepang saat ini begitu giatnya mengembangkan nuklir termasuk untuk listrik. Di Jepang ada 50 lebih PLTN beroperasi dengan aman, sehingga rakyatnya makmur dan sejahtera. Bagaimana dengan Indonesia?
Sumber : Suara Merdeka, 26 Juli 2010
Thursday, 16 December 2010
Dilema Pembangunan PLTN di Indonesia

Ide ini berlanjut dengan diadakannya seminar yang menghasilkan bahwa PLTN harus dikembangkan di Indonesia dan pada saat itu juga diusulkan 14 tempat untuk pembangunan PLTN yang salah satunya di Semenanjung Muria. Namun yang sangat disayangkan, sampai pada saat ini pembangunan PLTN belum juga dapat terlaksana dikarenakan banyaknya alasan-alasan.
Mengapa Indonesia sepertinya sangat ketakutan untuk membangun sebuah reaktor nuklir? Apakah dikarenakan dampaknya pada global warming? Padahal PLTN tidak menyebabkan polusi udara yang begitu parah, limbah dari PLTN hanya berupa H2O, CO2, dan limbah-limbah lain yang akan kembali pada kolam penampungan agar dampak dari radiasi dapat diabaikan.
Apakah karena takut dengan dampak negatif nuklir? Seharusnya kita tidak perlu mengkhawatirkan hal tersebut secara berlebihan karena reaktor nuklir telah dirancang sedemikian rupa agar tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. Selain itu pembangunan PLTN dari tahap perencanaan rancangan bangunan sampai dengan tahap dekomisioning akan diawasi oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir Internasional (International Atomic Energy Agency = IAEA) dan Badan Pengawas Tenaga Nuklr Dalam Negeri (Badan Pengawas Tenaga Nuklir = BAPETEN). Jadi tidak ada alasan untuk mengkhawatirkan hal tersebut secara berlebihan.
Mungkin untuk PLTN yang pertama ini, sebaiknya pembangunan PLTN nya dilaksanakan di tempat yang jauh dari pemukiman penduduk, agar masyarakat menjadi lebih tenang. Namun begitu harus tetap diadakan penyuluhan terlebih dahulu kepada masyarakat khususnya warga sekitar tempat pembangunan PLTN tentang PLTN tersebut. Tujuannya agar masyarakat dapat lebih tenang lagi, nyaman dan dapat mempercayai pemerintah.
Jika perencanaan pembangunan PLTN sudah matang sebaiknya cepat dilaksanakan, karena batubara yang selama ini kita pakai sudah tinggal sedikit persediaannya, selain itu masyarakat Indonesia juga sangat membutuhkan PLTN agar mencapai taraf hidup yang lebih baik.
Wednesday, 15 December 2010
Nuklir Penyelamat Peradaban

Nuklir adalah salah satu sumber energi alternatif yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Jika dipertimbangkan melalui logika, pemerintah saat ini terlihat enggan menyetujui eksplorasi lebih lanjut akan tenaga nuklir dan pemanfaatannya. Pemerintah lebih fokus untuk meningkatkan layanan tanpa memperhatikan ketersediaan sumber daya. Akibatnya, tarif listrik pun terus meningkat. Padahal dari sekian banyak sumber energi, telah diteliti bahwa nuklir akan mampu menyumbang listrik sebesar 10% dari jumlah permintaan listrik di Indonesia.
Kesadaran akan lingkungan juga membawa nuklir pada topik berwawasan lingkungan atau tidak. Jawabannya adalah ya, nuklir adalah energi yang berwawasan lingkungan. Dalam rangka pelestarian lingkungan, nuklir turut berperan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca yang mengakibatkan global warming. Emisi CO2 nuklir ke udara jauh lebih sedikit dari pada sumber energi lain. Untuk ketersediaan Uranium, sebagai bahan baku reaktor nuklir, lebih besar dibandingkan dengan sumber energi lain. Yaitu, umur tenaga nuklir dapat mencapai 3600 tahun, sedangkan bahan bakar minyak akan habis 42 tahun lagi. Tanpa listrik, dunia akan menjadi kegelapan semata bukan? Inilah saatnya nuklir menjadi penyelamat peradaban.
Untuk Indonesia, diperlukan komitmen yang besar untuk membangun PLTN. Keselamatan dan kepengurusan limbah nuklir harus menjadi yang utama dalam pengadaan PLTN. Masih diperlukan sumber daya manusia yang secara kualitas dinyatakan lulus untuk mengurusi bidang ini. Sayangnya, ketertinggalan dalam bidang IPTEK terpampang jelas dalam aksi-aksi penolakan nuklir. Fakta tersebut sebaiknya dijadikan tantangan bagi bangsa Indonesia sendiri untuk mengambil tindakan yang secara ekonomis menguntungkan, yaitu penggunaan energi nuklir. Mungkin masih diperlukan waktu dalam menciptakan persetujuan mayarakat akan tenaga nuklir ini. Tetapi jika tidak dilakukan sekarang, kapan lagi?